Author: dr. Ni Wayan Kertiasih, Sp.KJ
Indonesian
Indonesian
Tidak dipungkiri, proses mengasuh seorang anak merupakan tantangan tersendiri yang dihadapi oleh orang tua. Proses panjang ini dalam dinamika hubungan anak dan orang tua, tentunya tidak jarang menimbulkan konflik. Pernahkah kita mengatakan kalimat kalimat seperti ini pada anak “Kamu tu harusnya merasa bersyukur udah disediain semuanya sama papa”, “Kamu tu terlalu sensitif, segitu aja nangis”, “Pokoknya mama ga mau denger ceritamu lagi”, “Udah dong nangisnya, malu diliatin tetangga”. Sekilas terdengar seperti hal lumrah yang biasa kita dengar atau bahkan alami ya. Namun, coba kita bayangkan bagaimana perasaan anak? Tidak hanya orang dewasa, seorang anak pun memerlukan validasi emosi untuk tumbuh kembangnya yang optimal.
Validasi emosi merupakan suatu proses untuk mempelajari, memahami dan menunjukkan “penerimaan” terhadap pengalaman emosi yang ditunjukkan oleh orang lain. Berbeda halnya dengan Invalidasi emosi yang mengandung penghakiman, penolakan, pengabaian terhadap pengalaman emosi yang dialami oleh orang lain. Ketika kita memvalidasi perasaan seseorang dalam konteks ini anak, kita bukan berarti selalu setuju dengan apa yang dipikirkan oleh anak namun lebih menekankan pemahanan terhadap perasaan mereka. Sederhananya kita seperti “menggunakan sepatu” anak kita. Jadi validasi emosi itu menerima bahwa pengalaman yang dialami seorang anak termasuk pikiran, perasaan dan perilakunya adalah valid.
Seorang anak yang merasa tervalidasi secara emosi tidak hanya merasa melihat atau mendengar orang tuanya menerima emosi yang dirasakan anak namun juga menerima “keberadaan emosi itu sendiri”. Seorang anak belajar bahwa emosi mereka bukanlah sesuatu yang “salah” sehingga dapat berperan penting dalam pertumbuhan identitas dan self worth serta mampu meregulasi emosi yang dirasakannya dimasa depan. Validasi emosi sejak dini membantu anak menumbuhkan self-compassoion yang menghindarkan anak dari perasaan malu atau menyalahkan diri sendiri. sehingga ketika anak dewasa ia mampu melakukan self validation.
Bagaimana cara berlatih memvalidasi emosi anak? Hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi dan “menerima” perasaan yang dimiliki oleh anak. Sebagai contoh, ketika anak marah kepada orang tuanya, alih alih kita memarahinya balik dan memintanya untuk diam maka coba kita katakana hal sederhana seperti ini “Mama paham nak, kamu marah sama mama karena mama larang bermain ya” atau barangkali kita bisa berkata “Nak, kamu sepertinya terlihat marah. Apa yang terjadi? Yuk cerita ke Papa”. Langkah kedua adalah mengetahui apa yang membuat hadirnya emosi tersebut pada anak. Tanyakan kepada anak apa yang membuat anak berespon demikian. Sebagai contoh “Apa yang membuatmu menangis nak?” atau “Apa yang membuat dirimu marah nak?” Bantu anak mengenali apa yang ia rasakan, bagian tubuh yang tidak nyaman dan pikiran yang mengganggu. Mendampingi anak dan memberikan penguatan kepada anak agar dapat melewati situasi yang dialami oleh anak.
Bisa teman teman bayangkan bagaimana rasanya bila seorang anak mampu mengkomunikasikan sumber emosinya seperti sumber amarahnya, sedihnya, kecewanya. Sebagai contoh, anak anak marah kepada kita selaku orang tua karena telat menjemput anak 10 menit karena terkena macet dijalan. Mungkin bagi Anda, marah yang ditunjukkan oleh anak tidak sesuai dengan situasi yang terjadi. Kita sebagai orang tua ada baiknya tetap memvalidasi perasaan anak namun dengan mengkomunikasikan bahwa orang tua menerima perasaan anak bahkan jika kita barangkali tidak mengikuti alasan yang diungkapkan anak.
Sebagai contoh orang tua dapat berkata “Mama tahu perasaanmu marah kepada papa karena terlambat menjemputmu disekolah nak. Papa tadi terjebak macet dijalan, tetapi papa dapat melihat menunggu papa membuatmu kecewa”. Bagaimana rasanya jika kita diposisi anak diberikan pengertian seperti itu? Tentu terasa nyaman bukan? Selain itu beberapa kalimat validasi lain yang dapat diungkapkan ketika menerima emosi anak “Mama, ada disini untuk menemaniu”, “Mama, dapat melihat bagaimana kamu merasa sedih nak”, atau barangkali “Pasti tidak mudah ya nak untukmu mengalami hal tersebut”.
Agar anak merasa nyaman dan benar benar merasa diterima secara tulus maka orang tua perlu memperhatikan bahasa tubuh seperti menatap mata anak, hindari melipat tangan didepan anak. Tunjukkan empati dan bertanyalah untuk mengklarifikasi beberapa hal yang diungkapkan anak. Hal ini menunjukkan bahwa kita mendengarkan dan mencoba memahami situasi anak.
Hindari menyalahkan anak ataupun orang lain atas apa yang terjadi. Seorang anak yang tervalidasi emosi dengan baik oleh orang tuanya dapat mengembangkan komunikasi yang efektif, memiliki landasan yang kuat dalam suatu hubungan, lebih mampu meregulasi emosinya , memiliki kesehatan mental yang lebih baik dan merasa dirinya berharga. Pada akhirnya sama seperti emosi positif, emosi negatif juga membantu seorang anak untuk tumbuh dan berkembang.
Peran orang tua adalah bukan menghindari rasa tidak nyaman tersebut namun menerima dan mengakuinya sebagai bagian dari diri anak. “sometimes it’s okay not to be okay”
Pic Illustration by: pexels.com