Home » Family » Gaya Pengasuhan Orangtua dan Pengaruhnya pada Kepribadian Anak
Gaya Pengasuhan Orangtua dan Pengaruhnya pada Kepribadian Anak
February 15, 2023 February 15, 2023
Author: dr. Ni Wayan Kertiasih, Sp.KJ
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya karakter seseorang, salah satunya adalah gaya pengasuhan orang tua.
Mengutip dari Hugh Misseldine dari buku Your Inner Child of The Past terdapat 11 gaya pengasuhan orang tua yang mengacu pada teori psikologi individual Alfred Adler.
Yang pertama adalah gaya pengasuhandemocratic and encouraging. Pada gaya pengasuhan ini, anak diberikan kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kemampuannya, dianggap setara dan memiliki peranan penting didalam keluarga. Seorang anak “diterima” dan “loveable” sehingga didorong untuk menerima tantangan namun juga dibimbing apabila menemukan kendala. Sikap orang tua pada gaya pengasuhan ini antara lain menerima keunikan anak, menghormati dan merasa setara dengan anak (jadi orang tua juga mau menerima masukan, saran dan kritik dari anak). Orang tua juga mendorong anak untuk memperbaiki kesalahan dan mengembangkan kapasitas anak. Respon anak yang muncul seperti merasa aman, nyaman, dicintai dan diterima. Seorang anak merasa memiliki kekuatan yang berasal dari pengalaman dalam menyelesaikan kesulitan. Memiliki kepuasan akan pencapaian dan kontribusi sehingga anak tidak takut untuk mencoba ataupun gagal. Seorang anak pada akhirnya dapat melihat dunia sebagai tempat yang tidak mengancam karena merasa aman dan dicintai. Ini merupakan gaya pengasuhan yang paling ideal.
Over indulgent merupakan gaya pengasuhan kedua dimana anak hidup dengan berbagai kemudahan melalui layanan, materi atau hal hal yang sifatnya non emosional. Misalnya saja dibelikan berbagai macam barang barang mewah, memiliki banyak pembantu namun justru membuat anak cepat bosan, pasif dan kurang dekat dengan orang tu. Sikap orang tua pada gaya pengasuhan ini memberikan berbagai privilege , hadiah atau layanan melimpah namun tidak memahami dengan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh anak. Bisa dibilang “mama papa aja yang berusaha, kamu tahu beres aja nak”. Hal ini tidak memberikan kesempatan pada anak untuk berusaha atau bisa dikatakan terlalu memanjakan anak atau barangkali justru tidak percaya pada kemampuan anak. Anak dalam gaya pengasuhan ini akan berkembang menjadi pembosan, takut mencoba atau takut terlihat berbeda. Anak menjadi kehilangan spontanitas dan inisiatifnya, melihat orang lain sebagai pihak yang bisa memenuhi seluruh kebutuhannya untuk mendapatkan apa yang ia mau. Simplenya seorang anak tumbuh menjadi “pemalas” dan selalu mengandalkan orang lain.
Yang ketiga adalah over-submissive. Pada gaya pengasuhan ini anak dianggap “Raja” sehingga semua yang diinginkan anak dituruti, dipenuhi permintaannya. Orang tua dengan gaya pengasuhan ini biasanya menuruti segala rengekan, paksaan, suruhan, permintaan anak. Posisi anak sebagai ‘boss” dan orang tua sebagai pelayan. Orang tua tidak bisa berkata tidak. Anak dengan gaya pengasuhan ini akhirnya melakukan apapun untuk mendapatkan hal hal yang ia inginkan termasuk melakukan hal hal ekstrim bila keinginannya tidak dipenuhi. Anak menjadi tidak peduli dengan kebutuhan ataupun kondisi orang lain, jarang puas terhadap apa yang ia miliki dan sering memaksakan kehendak.
Yang keempat adalah gaya pengasuhan over-coercive. Orang tua dengan gaya pengasuhan ini biasanya mengatakan kata “harus” dengan dalih bahwa orang tua tahu yang terbaik untuk anak. Orang tua memberikan pengawasan, bimbingan dan arahan yang konstan. Instruksi bersifat mutlak dan seperti tidak ada habisnya, terlalu strict dan juga suka mengingatkan berkali kali pada hal yang sama. Contohnya “Pokoknya kamu harus nurut mama. Kamu harus pakai ini, kamu harus pakai itu. Setelah ini, lanjut begitu. Inget ya!” Dalam menghadapi orang tua seperti ini, anak dapat mengembangkan 3 respon yang berbeda. Anak bisa menjadi submisif (penurut, patuh dan penakut), rebel (memberontak baik secara verbal maupun tindakan) dan passive resistance (memendam dan mengabaikan).
Perfectionistic merupakan gaya pengasuhan yang kelima. Anak diibaratkan sebagai pelari yang harus menyelesaikan putaran garis finish yang telah ditetapkan oleh orang tua. Orang tua biasanya tida pernah puas dan meminta anak untuk terus menaikkan standar kemampunannya. Orang tua pada gaya pengasuhan ini hanya akan menerima anak kalau anaknya berhasil, kalau anaknya gagal ya udah deh jadi “senewem”. Misalnya saat anak mendapatkan juara 1 “Gitu dong, baru anak mama”. Sedangkan respon orang tua kalo anaknya kalah “Kamu segitu aja ga bisa? Kok ga bisa jadi juara 1”. Standar yang ditetapkan orang tua terlalu tinggi seperti langit ketujuh yang cenderung sulit untuk dipuaskan. Anak pada kahirnya menjadi capek, tidak pernah puas akan pencapaian dirinya. Anak menjadi tidak mengetahui sejauh mana batas kemampuannya dan merasa tidak berharga ketika tidak mampu mencapai standar yang ditetapkan oleh orang tuanya.
Excessively responsibleadalah gaya pengasuhan yang keenam. Anak dituntut untuk menanggung tanggung jawab yang cukup besar. Contohnya anak harus bekerja sebelum waktunya,mengurus pekerjaan rumah seperti orang dewasa atau tangggung jawab lain yang lebih berat yang tidak sesuai dengan usianya. Hal ini bisa jadi dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi, single parent, atau adanya anggota keluarga yang memerlukan perawatan intensif. Akibatnya anak menjadi tidak terurus, stress, merasa harus bisa seperti orang dewasa sebelum waktunya, kehilangan waktu bermain seperti anak seusianya dan tidak merasa diperhatikan. Alhasil ketika anak menjadi dewasa, ia kesulitan untuk bersosialisasi dengan seumuran dan merasa segala hal adalah tanggung jawabnya.
Neglecting merupakan gaya pengasuhan yang ketujuh. Orang tua dibayangkan seperti hantu, antara ada dan tiada. Secara fisik orang tuanya ada, tiap hari serumah dan ketemu namun sayangnya secara emosional unavailable. Boro boro memenuhi kebutuhan, didengarkan saja mungkin merupakan hal yang sangat mewah bagi seorang anak. Orang tua dalam posisi ini bisa jadi terlalu sibuk bekerja, memiliki keadaan ekonomi yang kurang, perceraian, mengalami ketergantungan sehingga tidak menyediakan waktu yang cukup untuk anak. Ibaratnya orang tua memiliki pemikiran “yang penting gue masih bisa ngasih akan, tempat tinggal, uang sekolah dan belanja”. Anak pada akhirnya tumbuh dengan ketidakmampuan untuk mengembangkan hubungan yang dekat dan sehat dengan orang lain. Anak merasa tidak pernah ada orang yang peduli dengannya dan dibutuhkan selama ini.
Rejectingmerupakan gaya pengasuhan kedelapan. Pada gaya pengasuhan ini, segala hal yang ditunjukkan oleh anak akan discounter oleh orang tua. Bisa dalam bentuk kebutuhan, eosi ataupun kehadirannya. Sebagaimana penolakan, sakitnya terasa dalam dan tajam. Hal ini biasanya dilandasi oleh ketidaksiapan orang tua memiliki anak, anak yang memiliki keterbatasan ataupun justru orang tua memiliki riwayat mengalami “penolakan” ketika kecil sehingga orang tua merasa bahwa anak adalah beban dan tidak bisa menerima “kehadiran” anak. Anak dengan gaya pengasuhan ini menganggap dirinya terisolasi dan tidak berdaya, terluka dan pada akhirnya berpotensi mengalami gangguan kecemasan, kejam, perasaan rendah diri serta terlalu sensitif terhadap penolakan ketika dewasa.
Punitiveadalah gaya pengasuhan kesembilan yang akan kita bahas. Gaya pengasuhan ini identic dengan penghukuman dan membuat anak merasa tidak berdaya. Biasanya orang tua dengan gaya pengasuhan ini merupakan perpaduan antara “coercive dan perfectionistic”. Orang tua menerapkan disiplin yang sangat ketat dan memberikan “perintah” yang keras. Orang tua sangat agresif dan hostile. Pada akhirnya anak dengan gaya pengasuhan ini memiliki keinginan kuat untuk balas dendam. Anak merasa bersalah dan menganggap dirinya buruk. Membenci hukuman orang tua dan barangakli berbohong untuk menghindari hukuman dari orang tua. Beberapa justru memiliki kekhawatiran jika dirinya secara tidak sadar dapat mencelakai orang tuanya suatu saat nanti.
Gaya pengasuhan yang kesepuluh adalah hypochondriacal. Orang tua selalu merasa khawatir dan takut anaknya menjadi sakit. Hal ini mungkin dilatarbelakangi karena anak memiliki kerentanan sakit tertentu atau orang tua yang pencemas. Orang tua terlalu khawatir akan kesehatan anak sehingga perhatian orang tua terfokus pada kondisi tubuh dan organ tubuh anak. Alhasil anak dilarang untuk bermain diluar, tidak diijinkan untuk kegiatan atau bisa dibilang “dipingit”. Anak pada akhirnya mendapatkan simpati (bukan empati) dan pemanjaan berlebihan dari orang tua. Anak dapat melebih lebihkan suatu gejala untuk mendapatkan tujuan tertentu.
Yang terakhir adalah gaya pengasuhan sexsually stimulating. Orang tua melakukan pelecehan seksual secara implisit misalnya saat mandi, tidur bareng, bermain. Orang tua melampiaskan hasrat seksual ke anak ketika pasangannya tidak mampu memberikan. Pemerkosaan, pencabulan, pemaksaan perkawinan seringkali merupakan gaya pengasuhan ini. Anak dipaksa merahasiakan dan merasa bersalah. Anak menjadi bingung namun sering patuh dan menjadi dependen. Anak menjadi kebingungan dan mengembangkan rasa permusuhan terhadap orang tua. Hal ini merusak konsep diri dari anak terkait seksualitasnya bahkan hingga anak menjadi dewasa.
Menjadi orang tua memang tidak mudah, mari berlatih menjadi lebih bijak dalam menyikapi tumbuh kembang anak karena anak bukanlah “miniatur manusia”